Sabtu, 01 Oktober 2011

“ Kedudukan Pengadilan Pajak dalam Sistem Peradilan Indonesia serta Eksistensi dan Kelemahan Peradilan Pajak dalam Menyelesaikan Masalah Sengketa Pajak”.


  1. JUDUL
Penelitian ini berjudul “ Kedudukan Pengadilan Pajak dalam Sistem Peradilan Indonesia serta Eksistensi dan Kelemahan Peradilan Pajak dalam Menyelesaikan Masalah Sengketa Pajak”.
  1. LATAR BELAKANG MASALAH
Tugas negara yang utama adalah mensejahterakan rakyatnya. Di dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat disebutkan salah satu tujuan negara Indonesia didirikan adalah “…..memajukan kesejahteraan umum…”.[1] Ksejahteraan rakyat dapat terwujud jika perekonomian suatu negara berkembang maju. Salah satu sumber keuangan negara yang sangat membantu perekonomian negara adalah pajak. Di sebagian besar negara Eropa sendiri pajak merupakan sumber utama keuangan Negara. Kemajuan negaranya sangat bergantung dengan besar kecilnya pajak yang dipungut oleh Negara (Fiscus) dari rakyatnya (wajib pajak). Sekalipun di Negara-negara Eropa sangat besar tarif pajak yang dibebankan kepada rakyatnya namun pajak tersebut tetap akan dikembalikan pada rakyatnya dalam bentuk fasilitas-fasilitas umum yang pembangunannya menggunakan dana yang diperoleh dari pajak.
Majunya perekonomian suatu Negara juga harus didukung oleh hukumnya yang dibuat dengan tujuan mensejahterakan rakyat juga, sehingga hukum dan ekonomi negara berjalan dengan seimbang, jangan sampai perkembangan ekonomi dihambat oleh hukum itu sendiri. Jika kita lihat dari uraian di atas ada suatu hubungan hukum dalam pajak yaitu antara Negara sebagai pemungut pajak (fiscus) dan rakyat sebagai wajib pajak (wapa), hubungan ini diatur berdasarkan suatu aturan hukum. Pajak sendiri harus berdasarkan undang-undang, dalam Amandemen Ketiga UUD 1945 Pasal 23A yang berbunyi, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang[2]. Mengapa pajak diwajibkan oleh UUD 1945 menggunakan undang-undang ? sebab pajak merupakan peralihan kekayaan dari rakyat kepada pemerintah yang tidak ada imbalannya yang secara langsung  dapat ditunjuk. Peralihan kekayaan demikian itu dalam kata sehari-hari hanya dapat berupa penggarongan, perampokan, pencopetan (dengan paksa), atau pemberian hadiah dengan sukarela dan ikhlas (tanpa paksaan)[3]. Maka supaya pajak tidak dikatakan perampokan atau pemberian hadiah dengan sukarela maka pajak haruslah berdasarkan undang-undang. Falsafah pajak yang dianut oleh Inggris sama dengan di Indonesia yaitu “No Taxation Without Representation” dan juga di Amerika “Taxation Without Representation is Roberry”.
Hubungan hukum antara Negara dengan wajib pajak ini dapat menimbulkan permasalahan atau dikatakan sebagai sengketa pajak. Sengketa ini timbul dari kurang kesadaran wajib pajak untuk membayar pajak yang dibebankan kepada. Disamping itu juga akibat pelaksanaan penagihan pajak yang merugikan wajib pajak. Sengketa ini tentunya diperlukan suatu lembaga yang dapat menyelesaikan masalah ini. Lembaga yang menyelesaikan sengketa pajak salah satunya adalah Pengadilan Pajak.
Pengadilan Pajak juga tidak terlepas dari suatu permasalahan. Mulai dari kedudukan lembaga Pengadilan Pajak, pembinaan hakim serta pengawasannya. Dalam pengadilan pajak dimana melaksanakan kekuasaan kehakiman namun ada kekuasaan eksekutif dalam Pengadilan Pajak yaitu Kementrian keuangan, hal ini diatur dalam Undang-Undang Pengadilan Pajak. Di samping itu permasalahan adanya kelemahan Undang-undang Pengadilan Pajak membuat banyak wajib pajak sering melakukan kecurangan dengan petugas pajak. Seperti kita ketahui perputaran uang dalam pajak sendiri begitu besar, tentunya ini dapat menimbulkan penyimpangan-penympangan yang dapat merugikan negara sangat besar namun menguntungkan bagi wajib pajak dan juga pejabat pajak atau hakim pajak.
Masih hafal diingatan kita tentang kasus Gayus H. Tambunan, dimana dia dapat “membantu” wajib pajak dalam mengatasi sengketa pajak baik dalam masalah besaran tagihan pajak dan juga dalam sengketa di Pengadilan Pajak. Perbuatannya telah membuat Negara merugi sangat besar, tetapi gayus sendiri menjadi sangat kaya raya padahal dia hanya PNS dengan golongan III. Permasalahan ini tentu dipengaruhi lemahnya pengawasan serta aturan hukum yang tidak tegas serta banyak celah untuk melakukan suatu peyimpangan. Melalui Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendukung reformasi peradilan pajak seperti yang didesakkan oleh Ketua Mahkamah Agung Harifin A Tumpa agar peradilan pajak yang lebih bersih dan transparan.[4]
  1. PERUMUSAN MASALAH
Permasalah di atas tentu perlu kita kaji apa yang menjadi dasar permasalahan di atas dan bagaimana penyelesaiannya. Untuk itu saya akan mengangkat rumusan masalah :
1.      Bagaimana kedudukan Pengadilan Pajak serta bagaimana eksistensi Pengadilan Pajak dalam mengatasi sengketa pajak ?
2.      Seperti apa kelemahan dari Peradilan Pajak sehingga dapat menimbulkan penyimpangan yang terjadi dalam sengketa pajak ?
  1. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan yang hendak dicapai dengan adanya penelitian ini adalah :
1      Untuk mengetahui bagaimana kedudukan pengadilan pajak dalam sistem peradilan di Indonesia.
2      Memberikan gambaran tentang eksistensi peradilan pajak dalam menyelesaikan sengketa pajak.
3      Menjelaskan apa saja yang menjadi kelemahan dari Peradilan Pajak yang dapat menjadikan timbulnya penyimpangan.
4      Memberikan solusi tentang kelemahan dalam aturan peradilan pajak di Indonesia.
  1. KEGUNAAN PENELITIAN.
1.    Kegunaan Teoritis.
Dari adanya hasil penelitian ini diharapkan dapat memperoleh kegunaan teoritis;
a.      menambah ilmu pengetahuan mengenai hukum pajak terutama tentang sengketa pajak.
b.     Disamping itu dapat memberikan pengetahuan mengenai peradilan pajak baik tentang kedudukan pengadilan pajak dalam sistem peradilan di Indonesia serta kelemahannya.
2.   Kegunaan Praktis
Mengenai kegunaan praktis adalah sebagai berikut :
a.   Menyumbangkan pemikiran guna memecahkan permasalahan yang terjadi dalam sengketa pajak.
b.  Memberikan masukan kepada pejabat yang terkait baik pejabat pajak maupun hakim pengadilan pajak dalam menyelesaikan masalah sengketa pajak.
  1. Kerangka Teoritis
1.  Pajak.
Pajak merupakan gejala sosial dan hanya terdapat dalam suatu masyarakat yaitu masyarakat hukum atau Gemeinschaft bukan masyarakat yang bersifat Geselschaft.[5] Pajak sebenarnya adalah utang, yaitu utang anggota msyarakat kepada masyarakat. Pajak sendiri menurut UUD 1945 diamanatkan harus dengan undang-undang. Dengan undang-undang diharapkan tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (detournement de pouvoir). Detournement de pouvoir adalah penggunaan daripada wewenang yang menyimpang dari tujuannya menurut undang-undang yang bersangkutan.[6]
Definisi pajak sendiri memiliki berbagai macam, setiap pakar dalam memberikan definisi berbeda namun pada intinya sama. Menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani, pajak  adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapatkan prestasi-kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan[7]. Sedangkan menurut Mr. Dr. N. J. Feldmann dalam bukunya De overheidsmeddelen van Indonesia, Leiden, 1949, adalah
“Belastinge zijn aan de overheid (volgens aglemene, door haar vastgestelde normen) verschuldigde afdwingbare prestties, waar geen tegenprestatie tegenover staat en uitsluitend dienen tot dekking van publieke uitgaven”.
“Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terhutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum”.[8]
Mengenai pajak  dapat kita lihat ada dua pihak di dalam pajak yaitu Negara sebagai pemungut pajak (fiscus), dan subjek pajak, disamping itu ada  objek pajak (yang dapat dikenakan pajak). Di atas telah dijelaskan dasar mengapa Negara dapat memungut pajak pada rakyatnya. Sedangkan subjek pajak sendiri dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang telah dirubah oleh Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 dan diubah kembali dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tidak menjelaskan  apa yang dimaksud dengan subjek pajak, hanya wajib pajak lah yang dijelaskan. Menurut Rochmat Soemitro subjek pajak adalah orang atau badan yang memenuhi syarat-syarat subjektif. Subjek pajak tidak identik dengan subjek hukum, sebab untuk menjadi subjek pajak tidak perlu menjadi subjek hukum.[9] Dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak penghasilan pasal 2 menyebutkan subjek pajak dalam PPh adalah:
  1. Orang pribadi atau perorangan,
  2. Warisan yang belum terbagi, sebagai suatu kesatuan menggantikan yang berhak,
  3. Badan yang mempunyai berbagai bentuk yang sifatnya satu denga lain berlainan,
  4. Bentuk usaha tetap.
Subjek pajak sendiri belum tentu menjadi wajib pajak. Subjek pajak harus selain harus memenuhi syarat subjektif  juga harus memenuhi syarat objektif yaitu memenuhi Tatbestand yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang No.6 Tahun 1983 Pasal 1 angka 2 Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Segala sesuatu yang ada dalam masyarakat dapat dijadikan sasaran Objek pajak, baik keadaan, perbuatan, maupun peristiwa atau dalam bahasa Jerman disebut Tatbestand. Misalnya:
  • Keadaan: kekayaan seseorang pada suatu tertentu, memiliki kendaraan bermotor, menempati rumah tertentu.
  • Perbuatan: melakukan penyerahan barang karena perjanjian, mendirikan rumah atau barang.
  • Peristiwa: kematian, keuntungan yang diperoleh secara mendadak.[10]
2.  Sengketa Pajak
Dalam pelaksanaan pajak tentu tak lepas dari adanya suatu permasalahan yang menimbulkan sengketa atau dalam hukum pajak disebut sengketa pajak. Di Undang-Undang Pengadilan pajak No. 14 Tahun 2002 Pasal 1 angka 5, sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
3.  Pengadilan Pajak
Peradilan adalah suatu proses penegakan hukum maupun memberi perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang bersengketa[11]. Peradilan dilaksanakan oleh suatu lembaga khusus yang disebut sebagai lembaga peradilan atau pengadilan. Peradilan pajak adalah suatu proses dalam hukum pajak yang bermaksud memberikan keadilan dalam hal sengketa pajak, baik kepada wajib pajak maupun kepada pemungut pajak (pemerintah), sesuai dengan ketentuan undang-undang/hukum positif.[12]
Lembaga yang pertama kali dibentuk untuk mengadili sengketa pajak adalah Raad van Beroep voor Belastingzaken (Majelis Pertimbangan Rakyat) pada tahun 1915. Dalam perkembangan selanjutnya pada periode 1983 hingga 1997, dicoba dibentuk Badan Peradilan Pajak, akan tetapi usaha-usaha yang dilakukan tidak memberi hasil untuk terbentuknya Badan Peradilan Pajak, sehingga kewenangan mengadili sengketa pajak tetap dijalankan oleh Majelis Pertimbangan Pajak (MPP), namun  dengan kewenangan yang diperluas. Pada periode 1997 hingga 2002, kewenangan mengadili sengeta pajak beralih pada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997. Namun, dalam pelaksanaan penyelesaian sengketa melalui BPSP masih terdapat ketidakpastian hukum yang dapat menimbulkan ketidakadilan dan sejak tahun 2002 kewenangan ini beralih kepada Pengadilan Pajak.[13]
Pengadilan pajak diatur dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Pengadilan pajak merupakan pengadilan tingkat pertama sekaligus terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak. Dalam Pasal 2 disebutkan Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak. Sedangkan sengketa pajak timbul dari dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding  atau Gugatan  kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 24 (2) menyatakan bahwa di Indonesia terdapat 2 lembaga pemegang kekuasan kehakiman tertingi, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi beserta 4 lingkungan peradilan di bawahnya, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara (TUN). Keempat peradilan yang terdapat di dalam Pasal 24 (2) Undang-undang Dasar 1945 adalah bersifat limitatif atau tetap artinya tidak dimungkinkan lagi adanya lembaga peradilan selain keempat peradilan tersebut. Hal ini menimbulkan bahwa pengadilan pajak berada di luar kekuasaan kehakiman seperti yang diatur dalam Undang-Undang No.14 Tahun 1970.[14] Pengadilan pajak terpisah dari PTUN dan penyelenggaraannya secara teknis operasional sama-sama bermuara pada MA sebagai pengadilan Negara tertinggi atau puncak dari susunan piramidal peradilan administrasi murni.[15]
Yang menarik adalah dalam hal pembinaan seperti yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung. Sedangkan ayat (2) pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan. Dan ayat (3) pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus Sengketa Pajak. Di bidang yudikatif tidak diperkenankan adanya campur tangan dari bidang eksekutif maupun legislatif. Hal ini dimaksudkan agar kekuasaan yudikatif bebas dalam menentukan keputusannya menghadapi suatu perkara. Jika eksekutif (atau legislatif) turut campur tangan dalam yudikatif atau sebaliknya berarti akan menghilangkan prinsip negara hukum sesuai dengan UUD 1945.[16]
G.   Metode Penelitian.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif, yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Dalam kajian ini, hukum dilihat sebagai sebuah sistem tersendiri yang terpisah dengan berbagai sistem lain yang ada di dalam masyarakat sehingga memberi batas antara sistem hukum dengan sistem lainnya.[17]
1.  Metode Pendekatan.
Pendekatan masalah yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan analisis (analytical approach), Dan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan perundang-undangan digunakan untuk mengetahui peraturan-peraturan yang mengatur tentang Pajak pada umumnya dan undang-undang tentang pengadilan pajak pada khususnya yang mengatur bagaimana menyelesaikan sengketa pajak. Pendekatan analisis digunakan untuk mengetahui seperti apa kelemahan pada undang-undang yang mengatur tentang penyelesaian sengketa pajak sehingga dapat diketahui bagaimana penyimpangan yang terjadi dalam penyelesaian sengketa pajak. Sedangkan pendekatan kasus diperlukan untuk memberikan gambaran tentang penyimpangan yang terjadi dalam sengketa pajak di Indonesia tentang cara penyimpangannya dan seperti apa bentuk penyimpangan yang terjadi.
2.  Spesifikasi Penelitian.
Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah spesifikasi penelitian inventarisasi hukum dan spesifikasi penelitian penemuan hukum in concreto. Penelitian ini menginventarisasi mengenai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pajak serta pengaturan mengenai penyelesaian sengketa pajak. Lalu dilakukan penelitian tentang penerapan peraturan perundang-undangan secara senyatanya (in concreto), dan memberikan solusi tentang permasalahan yang terjadi.
3.  Sumber Bahan Hukum.
Penelitian ini menggunakan sumber bahan hukum primer dan sekunder.
a    Bahan hukum primer adalah semua peraturan hukum yang dibentuk dan/atau dibuat secara resmi oleh suatu lembaga negara, dan/atau badan-badan pemerintahan, keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh komisi-komisi internasional, dan seluruh amar putusan badan yudicial. Dalam penelitian ini bahan hukum primer adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pajak seperti Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No.6 Tahun 1983 serta perubahannya, Undang-Undang No.14 Tahun 2002 serta peraturan-peraturan lain yang berkaitan tentang lembaga penyelesaian sengketa pajak.
b    Bahan hukum sekunder yaitu seluruh informasi tentang hukum yang berlaku atau yang pernah berlaku di suatu negeri. Bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks yang ditulis oleh para ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, dan kasus-kasus hukum. Di penelitian in bahan hukum sekunder adalah buku-buku ilmu hukum yang ditulis oleh ahli hukum, artikel-artikel di internet serta contoh-contoh kasus tentang penyimpangan pajak.
4.  Metode Pengumpulan Bahan Hukum.
Metode pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah dengan metode kepustakaan. Metode kepustakaan suatu cara pengumpulan data dengan melakukan penelusuran tehadap bahan pustaka (literatur, hasil penelitian). Mengumpulkan peraturan perundang-undangan yang dibutuhkan dalam penelitian ini, serta pemberitaan yang berkaitan dengan objek penelitian.
5.  Metode Pengolahan Bahan Hukum.
Bahan-bahan hukum dalam penelitian ini diolah dengan terlebih dahulu memilih bahan-bahan hukum kemudian dikutip atau dirangkum dari bahan-bahan hukum tentang hal-hal yang dianggap penting serta merupakan bagian dari objek penelitian ini.








6.  Metode Analisis.






















DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945 dan GBHN. 2008.Citra Media Wacana.
Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang No.6 Tahun 1983
Undang-Undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
Literatur
Atmosudirdjo, Prajudi. 1981. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Brotodihardjo, R.Santoso. 1998. Pengantar Ilmu hukum Pajak. Bandung: PT. Refika Aditama.
Djafar Saidi, Muhammad. 2008. Perlindungan Hukum Wajib pajak dalam penyelesaian Sengketa pajak. Jakarta: Rajawali Pers.
Johny Ibrahim. 2008. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif . Malang: Banyumedia Publishing.
Soemitro, Rochmat. 1998. Asas Dan Dasar Perpajakan 1. Bandung: PT. Refika Aditama.
Soemitro, Rochmat. 1998. Asas Dan Dasar perpajakan 2. Bandung: PT. Refika Aditama.
Syofyan, Syofrin. Asyhar Hidayat. 2004. Hukum Pajak dan Permasalahannya. Bandung: PT.Refika Aditama.


Internet



[1] Undang-Undang Dasar 1945 dan GBHN. 2008.Citra Media Wacana.
[2] Ibid.
[3] Soemitro, Rochmat. 1998. Asas Dan Dasar Perpajakan 1. Bandung: PT. Refika Aditama. Halm.8.
[5] Brotodihardjo, R.Santoso. 1998. Pengantar Ilmu hukum Pajak. Bandung: PT. Refika Aditama. Halm.2
[6] Atmosudirdjo, Prajudi. 1981. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia. Halm. 127
[7] Brotodihardjo, R.Santoso. Op Cit, Halm.2
[8] Ibid. Halm.4
[9] Soemitro, Rochmat. Op. Cit. Halm.62
[10] Ibid. Halm.101
[11] Djafar Saidi, Muhammad. 2008. Perlindungan Hukum Wajib pajak dalam penyelesaian Sengketa pajak. Jakarta: Rajawali Pers. Halm.32
[12] Soemitro, Rochmat. 1998. Asas Dan Dasar perpajakan 2. Bandung: PT. Refika Aditama. Halm.164.
[15]Soemitro, Rochmat.  Op.Cit. Halm. 90.
[16] Syofyan, Syofrin. Asyhar Hidayat. 2004. Hukum Pajak dan Permasalahannya. Bandung: PT.Refika Aditama. Halm. 91
[17] Johny Ibrahim. 2008. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif . Malang: Banyumedia Publishing. Halm. 306.

Humoran Islam


Jangan Berisik
Ada seseorang penyanyi bernama Jahdah, dia peri bersama rombongan. Pada saat ia hendak tidur, semua orang mengambil bantal, sedang dia tidak memilikinya. Dia bertanya, “Mengapa aku tidak dikasih bantal?”
Seseorang mejawab, “Menyanyilah ! pasti semua bantal akan melayang kepadamu”.

Balasan yang Santun
Seseorang mengumpat Abu Aina’, “Hai monyet !” Abu Aina hanya menimpali, “Dia membuat perumpamaan untukku, tapi lupa pada bentuknya”.

Masih Ada pintu Langit
Seorang Thufaili – orang yang sukanya menghadiri di jamuan makan meski tanpa diundang - datang ke suatu jamuan makan. Orang-oarang yang sudah mengenalinya segera menutup pintu kala mengetahui kedatangannya. Kemudian dari balik tembok, si Tufaili berkata, “Kalian telah melarangku masuk lewat bumi, maka aku akan masuk lewat langit.

Nenek Pemungut Daun


Dahulu disebuah kota di Madura ada seorang nenek tua penjual bunga cempaka. Ia menjual bunganya di pasar, setelah berjalan kaki cukup jauh. Usai berjualan, ia pergi ke Masjid Agung di kota itu. Ia berwudhu, masuk masjid dan melakukan shalat Zhuhur. Setelah membaca wirid sekedarnya, ia keluar masjid dan membungkuk-bungkuk di halaman masjid. Ia mengumpulkan dedaunan yang berceceran di halaman masjid. Selembar demi selembar dikaisnya. Tidak satu lembar pun ia lewatkan.
Tentu saja agak lama ia membersihkan halaman masjid dengan cara itu. Padahal matahari Madura di siang hari sungguh menyengat. Keringatnya membasahi seluruh tubuhnya. Banyak pengunjung masjid jatuh iba kepadanya. Pada suatu hari Takmir masjid memutuskan untuk membersihkan dedaunan itu sebelum perempuan tua itu datang.
Pada hari itu, ia datang dan langsung masuk masjid. Usai salat, ketika ia ingin melakukan pekerjaan rutinnya, ia terkejut. Tidaka ada satu pun daun berserakan di situ. Ia kembali lagi ke masjid dan menangis dengan keras. Ia mempertanyakan mengapa daun-daun itu sudah disapukan sebelum kedatangannya. Orang-oarang menjelaskan bahwa mereka kasihan kepadanya. “Jika kalian kasihan kepadaku,” kata nenek itu, “Berikan kesempatan kepadaku untuk membersihkannya.”
Seingkat cerita nenek itu dibiarkan mengumpulkan dedaunan itu seperti biasa. Seorang kiai terhormat diminta untuk menanyakan kepada perempuan itu mengapa ia begitu bersemangat membersihkan dedaunan itu. Perempuan tua itu mau menjelaskan sebabnya dengan dua syarat: pertama, hanya kiai itu yang mendengarkan rahasianya; kedua, rahasia itu tidak boleh disebarkan ketika ia masih hidup.
Sekarang ia sudah meninggal dunia dan Anda dapat mendengarkan rahasia itu. “Saya ini perempuan bodoh pak kiai.” Tuturnya. “Saya tahu amal-amal saya yang kecil itu mungkin juga tidak benar saya jalankan. Saya tidak mungkin selamat pada hari akhirat tanpa syafaat Kanjeng Nabi Muhammad. Setiap kali saya mengambil selembar daun, saya ucapkan satu salawat kepada Rasulullah. Kelak jika saya mati, saya ingin Kanjeng nabi menjemput saya. Biarlah semua daun itu bersaksi bahwa saya membacakan salawat kepadanya.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA

Gedung DitJend. Peraturan Perundang-undangan
Jln. Rasuna Said Kav. 6-7, Kuningan, Jakarta Selatan
Email: admin@legalitas.org


.


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 43 TAHUN 2008
TENTANG
WILAYAH NEGARA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara mempunyai kedaulatan atas wilayahnya serta memiliki hak-hak berdaulat di luar wilayah kedaulatannya dan kewenangan tertentu lainnya untuk dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa pengaturan mengenai wilayah negara meliputi wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut, dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya;
c. bahwa pengaturan wilayah negara sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilakukan untuk memberikan kepastian hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Wilayah Negara;

Mengingat:    Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 25A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:  UNDANG-UNDANG TENTANG WILAYAH NEGARA.
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut dengan Wilayah Negara adalah salah satu unsur negara yang merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya.
2. Wilayah Perairan adalah perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial.
3. Wilayah Yurisdiksi adalah wilayah di luar Wilayah Negara yang terdiri atas Zona Ekonomi Eksklusif, Landas Kontinen, dan Zona Tambahan di mana negara memiliki hak-hak berdaulat dan kewenangan tertentu lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.
4. Batas Wilayah Negara adalah garis batas yang merupakan pemisah kedaulatan suatu negara yang didasarkan atas hukum internasional.
5. Batas Wilayah Yurisdiksi adalah garis batas yang merupakan pemisah hak berdaulat dan kewenangan tertentu yang dimiliki oleh negara yang didasarkan atas ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.
6. Kawasan Perbatasan adalah bagian dari Wilayah Negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal Batas Wilayah Negara di darat, Kawasan Perbatasan berada di kecamatan.
7. Zona Tambahan Indonesia adalah zona yang lebarnya tidak melebihi 24 (dua puluh empat) mil laut yang diukur dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur.
8. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah suatu area di luar dan berdampingan dengan laut teritorial Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perairan Indonesia dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur.
9. Landas Kontinen Indonesia adalah meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari area di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorial, sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratan hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200 (dua ratus) mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut, hingga paling jauh 350 (tiga ratus lima puluh) mil laut sampai dengan jarak 100 (seratus) mil laut dari garis kedalaman 2.500 (dua ribu lima ratus) meter.
10. Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.
11. Badan Pengelola adalah badan yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang ini di bidang pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan.
12. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
13. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2
Pengaturan Wilayah Negara dilaksanakan berdasarkan asas:
a. kedaulatan;
b. kebangsaan;
c. kenusantaraan;
d. keadilan;
e. keamanan;
f. ketertiban dan kepastian hukum;
g. kerja sama;
h. kemanfaatan; dan
i. pengayoman.
Pasal 3
Pengaturan Wilayah Negara bertujuan:
a. menjamin keutuhan Wilayah Negara, kedaulatan negara, dan ketertiban di Kawasan Perbatasan demi kepentingan kesejahteraan segenap bangsa;
b. menegakkan kedaulatan dan hak-hak berdaulat; dan
c. mengatur pengelolaan dan pemanfaatan Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan, termasuk pengawasan batas-batasnya.

BAB III
RUANG LINGKUP WILAYAH NEGARA

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 4
Wilayah Negara meliputi wilayah darat, wilayah perairan, dasar laut, dan tanah di bawahnya serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya.
Bagian Kedua
Batas Wilayah

Pasal 5
Batas Wilayah Negara di darat, perairan, dasar laut dan tanah di bawahnya serta ruang udara di atasnya ditetapkan atas dasar perjanjian bilateral dan/atau trilateral mengenai batas darat, batas laut, dan batas udara serta berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.
Pasal 6
(1) Batas Wilayah Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, meliputi:
a. di darat berbatas dengan Wilayah Negara: Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste;
b. di laut berbatas dengan Wilayah Negara: Malaysia, Papua Nugini, Singapura, dan Timor Leste; dan
c. di udara mengikuti batas kedaulatan negara di darat dan di laut, dan batasnya dengan angkasa luar ditetapkan berdasarkan perkembangan hukum internasional.
(2) Batas Wilayah Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk titik-titik koordinatnya ditetapkan berdasarkan perjanjian bilateral dan/atau trilateral.
(3) Dalam hal Wilayah Negara tidak berbatasan dengan negara lain, Indonesia menetapkan Batas Wilayah Negara secara unilateral berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.

BAB IV
HAK-HAK BERDAULAT

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 7
Negara Indonesia memiliki hak-hak berdaulat dan hak-hak lain di Wilayah Yurisdiksi yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.
Bagian Kedua
Batas Wilayah Yurisdiksi

Pasal 8
(1) Wilayah Yurisdiksi Indonesia berbatas dengan wilayah yurisdiksi Australia, Filipina, India, Malaysia, Papua Nugini, Palau, Thailand, Timor Leste, dan Vietnam.
(2) Batas Wilayah Yurisdiksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk titik-titik koordinatnya ditetapkan berdasarkan perjanjian bilateral dan/atau trilateral.
(3) Dalam hal Wilayah Yurisdiksi tidak berbatasan dengan negara lain, Indonesia menetapkan Batas Wilayah Yurisdiksinya secara unilateral berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.

BAB V
KEWENANGAN

Pasal 9
Pemerintah dan pemerintah daerah berwenang mengatur pengelolaan dan pemanfaatan Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan.
Pasal 10
(1) Dalam pengelolaan Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan, Pemerintah berwenang:
a. menetapkan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan;
b. mengadakan perundingan dengan negara lain mengenai penetapan Batas Wilayah Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional;
c. membangun atau membuat tanda Batas Wilayah Negara;
d. melakukan pendataan dan pemberian nama pulau dan kepulauan serta unsur geografis lainnya;
e. memberikan izin kepada penerbangan internasional untuk melintasi wilayah udara teritorial pada jalur yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan;
f. memberikan izin lintas damai kepada kapal-kapal asing untuk melintasi laut teritorial dan perairan kepulauan pada jalur yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan;
g. melaksanakan pengawasan di zona tambahan yang diperlukan untuk mencegah pelanggaran dan menghukum pelanggar peraturan perundang-undangan di bidang bea cukai, fiskal, imigrasi, atau saniter di dalam Wilayah Negara atau laut teritorial;
h. menetapkan wilayah udara yang dilarang dilintasi oleh penerbangan internasional untuk pertahanan dan keamanan;
i. membuat dan memperbarui peta Wilayah Negara dan menyampaikannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat sekurang-kurangnya setiap 5 (lima) tahun sekali; dan
j. menjaga keutuhan, kedaulatan, dan keamanan Wilayah Negara serta Kawasan Perbatasan.
(2) Dalam rangka melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah berkewajiban menetapkan biaya pembangunan Kawasan Perbatasan.
(3) Dalam rangka menjalankan kewenangannya, Pemerintah dapat menugasi pemerintah daerah untuk menjalankan kewenangannya dalam rangka tugas pembantuan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 11
(1) Dalam pengelolaan Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan, Pemerintah Provinsi berwenang:
a. melaksanakan kebijakan Pemerintah dan menetapkan kebijakan lainnya dalam rangka otonomi daerah dan tugas pembantuan;
b. melakukan koordinasi pembangunan di Kawasan Perbatasan;
c. melakukan pembangunan Kawasan Perbatasan antar-pemerintah daerah dan/atau antara pemerintah daerah dengan pihak ketiga; dan
d. melakukan pengawasan pelaksanaan pembangunan Kawasan Perbatasan yang dilaksanakan Pemerintah Kabupaten/Kota.
(2) Dalam rangka melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Provinsi berkewajiban menetapkan biaya pembangunan Kawasan Perbatasan.

Pasal 12
(1) Dalam pengelolaan Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan, Pemerintah Kabupaten/Kota berwenang:
a. melaksanakan kebijakan Pemerintah dan menetapkan kebijakan lainnya dalam rangka otonomi daerah dan tugas pembantuan;
b. menjaga dan memelihara tanda batas;
c. melakukan koordinasi dalam rangka pelaksanaan tugas pembangunan di Kawasan Perbatasan di wilayahnya; dan
d. melakukan pembangunan Kawasan Perbatasan antar-pemerintah daerah dan/atau antara pemerintah daerah dengan pihak ketiga.
(2) Dalam rangka melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban menetapkan biaya pembangunan Kawasan Perbatasan.

Pasal 13
Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
KELEMBAGAAN

Pasal 14
(1) Untuk mengelola Batas Wilayah Negara dan mengelola Kawasan Perbatasan pada tingkat pusat dan daerah, Pemerintah dan pemerintah daerah membentuk Badan Pengelola nasional dan Badan Pengelola daerah.
(2) Badan Pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang kepala badan yang bertanggung jawab kepada Presiden atau kepala daerah sesuai dengan kewenangannya.
(3) Keanggotaan Badan Pengelola berasal dari unsur Pemerintah dan pemerintah daerah yang terkait dengan perbatasan Wilayah Negara.

Pasal 15
(1) Badan Pengelola bertugas:
a. menetapkan kebijakan program pembangunan perbatasan;
b. menetapkan rencana kebutuhan anggaran;
c. mengoordinasikan pelaksanaan; dan
d. melaksanakan evaluasi dan pengawasan.
(2) Pelaksana teknis pembangunan dilakukan oleh instansi teknis sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.

Pasal 16
Hubungan kerja antara Badan Pengelola nasional dan Badan Pengelola daerah merupakan hubungan koordinatif.
Pasal 17
Dalam melaksanakan tugasnya, Badan Pengelola dibantu oleh sekretariat tetap yang berkedudukan di kementerian yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemerintahan dalam negeri.
Pasal 18
(1) Ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan, tugas, fungsi, dan susunan organisasi, serta tata kerja Badan Pengelola dan sekretariat tetap di tingkat pusat diatur dengan Peraturan Presiden.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan, tugas, fungsi, dan susunan organisasi, serta tata kerja Badan Pengelola di tingkat daerah diatur dengan peraturan daerah.

BAB VII
PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 19
(1) Peran serta masyarakat dalam pengelolaan Kawasan Perbatasan dilakukan dalam bentuk:
a. mengembangkan pembangunan Kawasan Perbatasan; dan
b. menjaga serta mempertahankan Kawasan Perbatasan.
(2) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat melibatkan masyarakat untuk ikut berperan serta dalam pengelolaan Kawasan Perbatasan.
(3) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB VIII
LARANGAN

Pasal 20
(1) Setiap orang dilarang melakukan upaya menghilangkan, merusak, mengubah, atau memindahkan tanda-tanda batas negara, atau melakukan pengurangan luas Wilayah Negara.
(2) Setiap orang dilarang menghilangkan, merusak, mengubah, memindahkan tanda-tanda batas atau melakukan tindakan lain yang mengakibatkan tanda-tanda batas tersebut tidak berfungsi.

BAB IX
KETENTUAN PIDANA

Pasal 21
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
(3) Dalam hal pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh korporasi, dipidana dengan pidana denda ditambah 1/3 (sepertiga) dari jumlah denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2).
(4) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), korporasi dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha.

BAB X
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 22
Negara Indonesia berhak melakukan pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam dan lingkungan laut di laut bebas serta dasar laut internasional yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 23
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Batas Wilayah Negara dan Batas Wilayah Yurisdiksi tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 24
Badan Pengelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 15 harus sudah terbentuk dalam waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 25
Perjanjian internasional sebagai hasil perundingan mengenai Batas Wilayah Negara serta Batas Wilayah Yurisdiksi di laut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Pasal 26
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 14 November 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 14 November 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ANDI MATTALATTA




LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 177.


PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 43 TAHUN
TENTANG
WILAYAH NEGARA

I. UMUM
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara mempunyai kedaulatan atas wilayah serta memiliki hak-hak berdaulat di luar wilayah kedaulatannya untuk dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 25A mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.
Bahwa wilayah negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menganut sistem:
a. pengaturan suatu Pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
c. desentralisasi pemerintahan kepada daerah-daerah besar dan kecil yang bersifat otonom dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
d. kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam rangka mengejawantahkan maksud Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut diperlukan pengaturan-pengaturan kewilayahan secara nasional, antara lain pengaturan mengenai:
a. perairan;
b. daratan/tanah;
c. udara;
d. ruang; dan
e. sumber kekayaan alam dan lingkungannya.
Mengingat sisi terluar dari wilayah negara atau yang dikenal dengan Kawasan Perbatasan merupakan kawasan strategis dalam menjaga integritas Wilayah Negara, maka diperlukan juga pengaturan secara khusus.
Pengaturan batas-batas Wilayah Negara dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum mengenai ruang lingkup wilayah negara, kewenangan pengelolaan Wilayah Negara, dan hak–hak berdaulat.
Negara berkepentingan untuk ikut mengatur pengelolaan dan pemanfaatan di laut bebas dan dasar laut internasional sesuai dengan hukum internasional.
Pemanfaatan di laut bebas dan di dasar laut meliputi pengelolaan kekayaan alam, perlindungan lingkungan laut dan keselamatan navigasi.
Pengelolaan Wilayah Negara dilakukan dengan pendekatan kesejahteraan, keamanan dan kelestarian lingkungan secara bersama-sama. Pendekatan kesejahteraan dalam arti upaya-upaya pengelolaan Wilayah Negara hendaknya memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi peningkatan kesejahteraaan masyarakat yang tinggal di Kawasan Perbatasan. Pendekatan keamanan dalam arti pengelolaan Wilayah Negara untuk menjamin keutuhan wilayah dan kedaulatan negara serta perlindungan segenap bangsa. Sedangkan pendekatan kelestarian lingkungan dalam arti pembangunan Kawasan Perbatasan yang memperhatikan aspek kelestarian lingkungan yang merupakan wujud dari pembangunan yang berkelanjutan.
Peran Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjadi sangat penting terkait dengan pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan sesuai dengan prinsip otonomi daerah dalam mengelola pembangunan Kawasan Perbatasan.
Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Wilayah Negara telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain:
a. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1971 tentang Perjanjian antara Republik Indonesia dan Malaysia tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah kedua Negara di Selat Malaka;
b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia;
c. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1973 tentang Perjanjian Antara Indonesia dan Australia Mengenai Garis-Garis Batas Tertentu Antara Indonesia dan Papua New Guinea;
d. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1973 tentang Perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Singapura mengenai garis Batas laut Wilayah kedua Negara di Selat Singapura;
e. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia;
f. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut);
g. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia;
h. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2007 tentang Pengesahan Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Pemerintah Republik Sosialis Vietnam tentang Penetapan Batas Landas Kontinen Tahun 2003;
i. Keputusan Presiden Nomor 89 Tahun 1969 tentang Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia tentang Penetapan Garis Batas Landas Kontinen Antara Kedua Negara;
j. Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 1971 tentang Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Commonwealth Australia tentang Penetapan Batas-Batas Dasar Laut Tertentu;
k. Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 1972 tentang Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia, Pemerintah Malaysia dan Pemerintah Kerajaan Thailand tentang Penetapan Garis-Garis Batas Landas Kontinen di Bagian Utara Selat Malaka;
l. Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 1972 tentang Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Thailand tentang Penetapan Suatu Garis Batas Landas Kontinen di Bagian Utara Selat Malaka dan Laut Andaman;
m. Keputusan Presiden Nomor 66 Tahun 1972 tentang Persetujuan Bersama Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Commonwealth Australia tentang Penetapan Garis Batas Dasar Laut di Daerah Laut Timor dan Laut Arafura;
n. Keputusan Presiden Nomor 51 Tahun 1974 tentang Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik India tentang Penetapan Batas Landas Kontinen Antara Kedua Negara;
o. Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1977 tentang Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Thailand tentang Penetapan Garis Batas dasar Laut Antara Kedua Negara di Laut Andaman;
p. Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1977 tentang Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik India tentang Garis Batas Landas Kontinen Tahun 1974 Antara Kedua Negara di Laut Andaman dan Samudera Hindia;
q. Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 1978 tentang Persetujuan Bersama Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik India, dan Pemerintah Kerajaan Thailand tentang Penetapan Titik Pertemuan Tiga Garis Batas dan Penetapan Garis Batas Ketiga Negara di Laut Andaman; dan
r. Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 1982 tentang Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Papua Nugini tentang Batas-Batas Maritim Antara Pemerintah RI dan Papua Nugini dan Kerjasama tentang Masalah-Masalah Yang Bersangkutan Sebagai Hasil Perundingan Antara Delegasi Pemerintah RI dan Delegasi Pemerintah Papua Nugini.
Mengingat Kawasan Perbatasan merupakan kawasan strategis dalam menjaga keutuhan Wilayah Negara maka diperlukan pengaturan secara tersendiri dalam Undang-Undang.
Pengaturan Batas Wilayah Negara dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum mengenai Wilayah Negara, kewenangan pengelolaan Wilayah Negara, dan hak–hak berdaulat.
Hal-hal pokok yang diatur dalam undang-undang ini, yakni:
1. Ruang lingkup Wilayah Negara yang meliputi wilayah daratan, wilayah perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, dasar laut, dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya.
2. Hak-hak berdaulat Negara Republik Indonesia di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen serta hak pengawasan di Zona Tambahan.
3. Kewenangan Pemerintah melakukan pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan wilayah negara serta Kawasan Perbatasan.
4. Kelembagaan yang diberi kewenangan untuk melakukan penanganan Kawasan Perbatasan. Unsur keanggotaan kelembagaan ini berasal dari unsur Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengingat posisi strategis wilayah perbatasan terkait dalam hal seperti kedaulatan negara, keutuhan wilayah, penegakan hukum dan kesejahteraan rakyat.
5. Keikutsertaan masyarakat dalam menjaga dan mempertahankan Wilayah Negara termasuk Kawasan Perbatasan.
6. Larangan dan sanksi bagi setiap orang yang melakukan pelanggaran terkait dengan Wilayah Negara dan batas-batasnya.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan "asas kedaulatan" adalah pengelolaan Wilayah Negara harus senantiasa memperhatikan kedaulatan Wilayah Negara demi tetap terjaganya keutuhan Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "asas kebangsaan" adalah pengelolaan Wilayah Negara harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik atau kebhinekaan dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "asas kenusantaraan" adalah pengelolaan Wilayah Negara harus senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh Wilayah Negara Indonesia.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "asas keadilan" adalah pengelolaan Wilayah Negara harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "asas keamanan" adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "asas ketertiban dan kepastian hukum" adalah pengelolaan Wilayah Negara harus menjamin terciptanya ketertiban dan kepastian hukum.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "asas kerja sama" adalah pengelolaan Wilayah Negara harus dilakukan melalui kerja sama dari berbagai pemangku kepentingan.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "asas kemanfaatan" adalah pengelolaan Wilayah Negara harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat Indonesia.
Huruf i
Yang dimaksud dengan "asas pengayoman" adalah pengelolaan Wilayah Negara harus mengayomi kepentingan seluruh warga negara khususnya masyarakat di Kawasan Perbatasan.

Pasal 3
Cukup jelas

Pasal 4
Cukup jelas

Pasal 5
Cukup jelas

Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Batas Wilayah Negara di darat dalam ketentuan ini adalah batas-batas yang disepakati oleh Pemerintah Hindia Belanda dan Pemerintah Inggris di Kalimantan dan Papua, dan Pemerintah Portugis di Pulau Timor yang selanjutnya menjadi wilayah Indonesia berdasarkan prinsip uti possidetis juris yang berlaku dalam hukum internasional. Berdasarkan prinsip tersebut, negara yang merdeka mewarisi wilayah bekas negara penjajahnya.
Batas darat antara Indonesia dan Malaysia ditetapkan atas dasar Konvensi Hindia Belanda dan Inggris Tahun 1891, Tahun 1915, dan Tahun 1928.
Batas darat antara Indonesia dan Timor Leste ditetapkan atas dasar Konvensi tentang Penetapan Batas Hindia Belanda dan Portugal Tahun 1904 dan Keputusan Permanent Court of Arbitration (PCA) Tahun 1914.
Batas darat antara Indonesia dan Papua Nugini ditetapkan atas dasar Perjanjian Batas Hindia Belanda dan Inggris Tahun 1895.
Huruf b
Ketentuan ini dimaksudkan hanya untuk batas-batas laut wilayah (territorial water).
Huruf c
Cukup Jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Penetapan Batas Wilayah Negara dilakukan melalui perjanjian bilateral dan/atau trilateral apabila terdapat dua atau tiga negara yang menyatakan pengakuan atas wilayah yang sama ataupun adanya kemungkinan tumpang-tindih pengakuan atas wilayah yang sama.
Penetapan Batas Wilayah Negara dilakukan secara unilateral apabila tidak terdapat pengakuan atas wilayah yang sama ataupun tidak adanya kemungkinan tumpang-tindih pengakuan atas wilayah yang sama.

Pasal 7
Yang dimaksud dengan "hak-hak lain" seperti pencarian dan penguasaan harta karun dan riset kelautan.

Pasal 8
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk batas-batas hak berdaulat atau Wilayah Yurisdiksi di Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif, dan Landas Kontinen.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 9
Cukup jelas

Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Pembangunan dan pembuatan tanda batas wilayah negara tersebut dilakukan sesuai kesepakatan dengan negara yang berbatasan.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Cukup jelas
Huruf j
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 11
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan ketentuan ini adalah pembangunan Kawasan Perbatasan yang bersifat lintas kabupaten atau lintas provinsi dan/atau melibatkan investasi swasta.
Huruf d
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan "menjaga dan memelihara tanda batas" tidak termasuk melakukan rekonstruksi atau memindahkan tanda batas.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan ketentuan ini adalah pembangunan Kawasan Perbatasan yang bersifat lintas kabupaten atau lintas provinsi dan/atau melibatkan investasi swasta.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 13
Cukup jelas

Pasal 14
Ayat (1)
Badan Pengelola di tingkat daerah hanya dibentuk di daerah provinsi, kabupaten/kota yang memiliki Kawasan Perbatasan antarnegara.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 15
Cukup jelas

Pasal 16
Cukup jelas

Pasal 17
Cukup jelas

Pasal 18
Cukup jelas

Pasal 19
Cukup jelas

Pasal 20
Cukup jelas

Pasal 21
Cukup jelas

Pasal 22
Cukup jelas

Pasal 23
Cukup jelas

Pasal 24
Cukup jelas

Pasal 25
Cukup jelas

Pasal 26
Cukup jelas




TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4925.

 Go Back   | Tentang Kami | Forum Diskusi | Web Mail | Kontak Kami  © Legalitas.Org