Sabtu, 01 Oktober 2011

“ Kedudukan Pengadilan Pajak dalam Sistem Peradilan Indonesia serta Eksistensi dan Kelemahan Peradilan Pajak dalam Menyelesaikan Masalah Sengketa Pajak”.


  1. JUDUL
Penelitian ini berjudul “ Kedudukan Pengadilan Pajak dalam Sistem Peradilan Indonesia serta Eksistensi dan Kelemahan Peradilan Pajak dalam Menyelesaikan Masalah Sengketa Pajak”.
  1. LATAR BELAKANG MASALAH
Tugas negara yang utama adalah mensejahterakan rakyatnya. Di dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat disebutkan salah satu tujuan negara Indonesia didirikan adalah “…..memajukan kesejahteraan umum…”.[1] Ksejahteraan rakyat dapat terwujud jika perekonomian suatu negara berkembang maju. Salah satu sumber keuangan negara yang sangat membantu perekonomian negara adalah pajak. Di sebagian besar negara Eropa sendiri pajak merupakan sumber utama keuangan Negara. Kemajuan negaranya sangat bergantung dengan besar kecilnya pajak yang dipungut oleh Negara (Fiscus) dari rakyatnya (wajib pajak). Sekalipun di Negara-negara Eropa sangat besar tarif pajak yang dibebankan kepada rakyatnya namun pajak tersebut tetap akan dikembalikan pada rakyatnya dalam bentuk fasilitas-fasilitas umum yang pembangunannya menggunakan dana yang diperoleh dari pajak.
Majunya perekonomian suatu Negara juga harus didukung oleh hukumnya yang dibuat dengan tujuan mensejahterakan rakyat juga, sehingga hukum dan ekonomi negara berjalan dengan seimbang, jangan sampai perkembangan ekonomi dihambat oleh hukum itu sendiri. Jika kita lihat dari uraian di atas ada suatu hubungan hukum dalam pajak yaitu antara Negara sebagai pemungut pajak (fiscus) dan rakyat sebagai wajib pajak (wapa), hubungan ini diatur berdasarkan suatu aturan hukum. Pajak sendiri harus berdasarkan undang-undang, dalam Amandemen Ketiga UUD 1945 Pasal 23A yang berbunyi, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang[2]. Mengapa pajak diwajibkan oleh UUD 1945 menggunakan undang-undang ? sebab pajak merupakan peralihan kekayaan dari rakyat kepada pemerintah yang tidak ada imbalannya yang secara langsung  dapat ditunjuk. Peralihan kekayaan demikian itu dalam kata sehari-hari hanya dapat berupa penggarongan, perampokan, pencopetan (dengan paksa), atau pemberian hadiah dengan sukarela dan ikhlas (tanpa paksaan)[3]. Maka supaya pajak tidak dikatakan perampokan atau pemberian hadiah dengan sukarela maka pajak haruslah berdasarkan undang-undang. Falsafah pajak yang dianut oleh Inggris sama dengan di Indonesia yaitu “No Taxation Without Representation” dan juga di Amerika “Taxation Without Representation is Roberry”.
Hubungan hukum antara Negara dengan wajib pajak ini dapat menimbulkan permasalahan atau dikatakan sebagai sengketa pajak. Sengketa ini timbul dari kurang kesadaran wajib pajak untuk membayar pajak yang dibebankan kepada. Disamping itu juga akibat pelaksanaan penagihan pajak yang merugikan wajib pajak. Sengketa ini tentunya diperlukan suatu lembaga yang dapat menyelesaikan masalah ini. Lembaga yang menyelesaikan sengketa pajak salah satunya adalah Pengadilan Pajak.
Pengadilan Pajak juga tidak terlepas dari suatu permasalahan. Mulai dari kedudukan lembaga Pengadilan Pajak, pembinaan hakim serta pengawasannya. Dalam pengadilan pajak dimana melaksanakan kekuasaan kehakiman namun ada kekuasaan eksekutif dalam Pengadilan Pajak yaitu Kementrian keuangan, hal ini diatur dalam Undang-Undang Pengadilan Pajak. Di samping itu permasalahan adanya kelemahan Undang-undang Pengadilan Pajak membuat banyak wajib pajak sering melakukan kecurangan dengan petugas pajak. Seperti kita ketahui perputaran uang dalam pajak sendiri begitu besar, tentunya ini dapat menimbulkan penyimpangan-penympangan yang dapat merugikan negara sangat besar namun menguntungkan bagi wajib pajak dan juga pejabat pajak atau hakim pajak.
Masih hafal diingatan kita tentang kasus Gayus H. Tambunan, dimana dia dapat “membantu” wajib pajak dalam mengatasi sengketa pajak baik dalam masalah besaran tagihan pajak dan juga dalam sengketa di Pengadilan Pajak. Perbuatannya telah membuat Negara merugi sangat besar, tetapi gayus sendiri menjadi sangat kaya raya padahal dia hanya PNS dengan golongan III. Permasalahan ini tentu dipengaruhi lemahnya pengawasan serta aturan hukum yang tidak tegas serta banyak celah untuk melakukan suatu peyimpangan. Melalui Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendukung reformasi peradilan pajak seperti yang didesakkan oleh Ketua Mahkamah Agung Harifin A Tumpa agar peradilan pajak yang lebih bersih dan transparan.[4]
  1. PERUMUSAN MASALAH
Permasalah di atas tentu perlu kita kaji apa yang menjadi dasar permasalahan di atas dan bagaimana penyelesaiannya. Untuk itu saya akan mengangkat rumusan masalah :
1.      Bagaimana kedudukan Pengadilan Pajak serta bagaimana eksistensi Pengadilan Pajak dalam mengatasi sengketa pajak ?
2.      Seperti apa kelemahan dari Peradilan Pajak sehingga dapat menimbulkan penyimpangan yang terjadi dalam sengketa pajak ?
  1. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan yang hendak dicapai dengan adanya penelitian ini adalah :
1      Untuk mengetahui bagaimana kedudukan pengadilan pajak dalam sistem peradilan di Indonesia.
2      Memberikan gambaran tentang eksistensi peradilan pajak dalam menyelesaikan sengketa pajak.
3      Menjelaskan apa saja yang menjadi kelemahan dari Peradilan Pajak yang dapat menjadikan timbulnya penyimpangan.
4      Memberikan solusi tentang kelemahan dalam aturan peradilan pajak di Indonesia.
  1. KEGUNAAN PENELITIAN.
1.    Kegunaan Teoritis.
Dari adanya hasil penelitian ini diharapkan dapat memperoleh kegunaan teoritis;
a.      menambah ilmu pengetahuan mengenai hukum pajak terutama tentang sengketa pajak.
b.     Disamping itu dapat memberikan pengetahuan mengenai peradilan pajak baik tentang kedudukan pengadilan pajak dalam sistem peradilan di Indonesia serta kelemahannya.
2.   Kegunaan Praktis
Mengenai kegunaan praktis adalah sebagai berikut :
a.   Menyumbangkan pemikiran guna memecahkan permasalahan yang terjadi dalam sengketa pajak.
b.  Memberikan masukan kepada pejabat yang terkait baik pejabat pajak maupun hakim pengadilan pajak dalam menyelesaikan masalah sengketa pajak.
  1. Kerangka Teoritis
1.  Pajak.
Pajak merupakan gejala sosial dan hanya terdapat dalam suatu masyarakat yaitu masyarakat hukum atau Gemeinschaft bukan masyarakat yang bersifat Geselschaft.[5] Pajak sebenarnya adalah utang, yaitu utang anggota msyarakat kepada masyarakat. Pajak sendiri menurut UUD 1945 diamanatkan harus dengan undang-undang. Dengan undang-undang diharapkan tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (detournement de pouvoir). Detournement de pouvoir adalah penggunaan daripada wewenang yang menyimpang dari tujuannya menurut undang-undang yang bersangkutan.[6]
Definisi pajak sendiri memiliki berbagai macam, setiap pakar dalam memberikan definisi berbeda namun pada intinya sama. Menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani, pajak  adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapatkan prestasi-kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan[7]. Sedangkan menurut Mr. Dr. N. J. Feldmann dalam bukunya De overheidsmeddelen van Indonesia, Leiden, 1949, adalah
“Belastinge zijn aan de overheid (volgens aglemene, door haar vastgestelde normen) verschuldigde afdwingbare prestties, waar geen tegenprestatie tegenover staat en uitsluitend dienen tot dekking van publieke uitgaven”.
“Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terhutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum”.[8]
Mengenai pajak  dapat kita lihat ada dua pihak di dalam pajak yaitu Negara sebagai pemungut pajak (fiscus), dan subjek pajak, disamping itu ada  objek pajak (yang dapat dikenakan pajak). Di atas telah dijelaskan dasar mengapa Negara dapat memungut pajak pada rakyatnya. Sedangkan subjek pajak sendiri dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang telah dirubah oleh Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 dan diubah kembali dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tidak menjelaskan  apa yang dimaksud dengan subjek pajak, hanya wajib pajak lah yang dijelaskan. Menurut Rochmat Soemitro subjek pajak adalah orang atau badan yang memenuhi syarat-syarat subjektif. Subjek pajak tidak identik dengan subjek hukum, sebab untuk menjadi subjek pajak tidak perlu menjadi subjek hukum.[9] Dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak penghasilan pasal 2 menyebutkan subjek pajak dalam PPh adalah:
  1. Orang pribadi atau perorangan,
  2. Warisan yang belum terbagi, sebagai suatu kesatuan menggantikan yang berhak,
  3. Badan yang mempunyai berbagai bentuk yang sifatnya satu denga lain berlainan,
  4. Bentuk usaha tetap.
Subjek pajak sendiri belum tentu menjadi wajib pajak. Subjek pajak harus selain harus memenuhi syarat subjektif  juga harus memenuhi syarat objektif yaitu memenuhi Tatbestand yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang No.6 Tahun 1983 Pasal 1 angka 2 Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Segala sesuatu yang ada dalam masyarakat dapat dijadikan sasaran Objek pajak, baik keadaan, perbuatan, maupun peristiwa atau dalam bahasa Jerman disebut Tatbestand. Misalnya:
  • Keadaan: kekayaan seseorang pada suatu tertentu, memiliki kendaraan bermotor, menempati rumah tertentu.
  • Perbuatan: melakukan penyerahan barang karena perjanjian, mendirikan rumah atau barang.
  • Peristiwa: kematian, keuntungan yang diperoleh secara mendadak.[10]
2.  Sengketa Pajak
Dalam pelaksanaan pajak tentu tak lepas dari adanya suatu permasalahan yang menimbulkan sengketa atau dalam hukum pajak disebut sengketa pajak. Di Undang-Undang Pengadilan pajak No. 14 Tahun 2002 Pasal 1 angka 5, sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
3.  Pengadilan Pajak
Peradilan adalah suatu proses penegakan hukum maupun memberi perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang bersengketa[11]. Peradilan dilaksanakan oleh suatu lembaga khusus yang disebut sebagai lembaga peradilan atau pengadilan. Peradilan pajak adalah suatu proses dalam hukum pajak yang bermaksud memberikan keadilan dalam hal sengketa pajak, baik kepada wajib pajak maupun kepada pemungut pajak (pemerintah), sesuai dengan ketentuan undang-undang/hukum positif.[12]
Lembaga yang pertama kali dibentuk untuk mengadili sengketa pajak adalah Raad van Beroep voor Belastingzaken (Majelis Pertimbangan Rakyat) pada tahun 1915. Dalam perkembangan selanjutnya pada periode 1983 hingga 1997, dicoba dibentuk Badan Peradilan Pajak, akan tetapi usaha-usaha yang dilakukan tidak memberi hasil untuk terbentuknya Badan Peradilan Pajak, sehingga kewenangan mengadili sengketa pajak tetap dijalankan oleh Majelis Pertimbangan Pajak (MPP), namun  dengan kewenangan yang diperluas. Pada periode 1997 hingga 2002, kewenangan mengadili sengeta pajak beralih pada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997. Namun, dalam pelaksanaan penyelesaian sengketa melalui BPSP masih terdapat ketidakpastian hukum yang dapat menimbulkan ketidakadilan dan sejak tahun 2002 kewenangan ini beralih kepada Pengadilan Pajak.[13]
Pengadilan pajak diatur dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Pengadilan pajak merupakan pengadilan tingkat pertama sekaligus terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak. Dalam Pasal 2 disebutkan Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak. Sedangkan sengketa pajak timbul dari dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding  atau Gugatan  kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 24 (2) menyatakan bahwa di Indonesia terdapat 2 lembaga pemegang kekuasan kehakiman tertingi, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi beserta 4 lingkungan peradilan di bawahnya, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara (TUN). Keempat peradilan yang terdapat di dalam Pasal 24 (2) Undang-undang Dasar 1945 adalah bersifat limitatif atau tetap artinya tidak dimungkinkan lagi adanya lembaga peradilan selain keempat peradilan tersebut. Hal ini menimbulkan bahwa pengadilan pajak berada di luar kekuasaan kehakiman seperti yang diatur dalam Undang-Undang No.14 Tahun 1970.[14] Pengadilan pajak terpisah dari PTUN dan penyelenggaraannya secara teknis operasional sama-sama bermuara pada MA sebagai pengadilan Negara tertinggi atau puncak dari susunan piramidal peradilan administrasi murni.[15]
Yang menarik adalah dalam hal pembinaan seperti yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung. Sedangkan ayat (2) pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Departemen Keuangan. Dan ayat (3) pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus Sengketa Pajak. Di bidang yudikatif tidak diperkenankan adanya campur tangan dari bidang eksekutif maupun legislatif. Hal ini dimaksudkan agar kekuasaan yudikatif bebas dalam menentukan keputusannya menghadapi suatu perkara. Jika eksekutif (atau legislatif) turut campur tangan dalam yudikatif atau sebaliknya berarti akan menghilangkan prinsip negara hukum sesuai dengan UUD 1945.[16]
G.   Metode Penelitian.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif, yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Dalam kajian ini, hukum dilihat sebagai sebuah sistem tersendiri yang terpisah dengan berbagai sistem lain yang ada di dalam masyarakat sehingga memberi batas antara sistem hukum dengan sistem lainnya.[17]
1.  Metode Pendekatan.
Pendekatan masalah yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan analisis (analytical approach), Dan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan perundang-undangan digunakan untuk mengetahui peraturan-peraturan yang mengatur tentang Pajak pada umumnya dan undang-undang tentang pengadilan pajak pada khususnya yang mengatur bagaimana menyelesaikan sengketa pajak. Pendekatan analisis digunakan untuk mengetahui seperti apa kelemahan pada undang-undang yang mengatur tentang penyelesaian sengketa pajak sehingga dapat diketahui bagaimana penyimpangan yang terjadi dalam penyelesaian sengketa pajak. Sedangkan pendekatan kasus diperlukan untuk memberikan gambaran tentang penyimpangan yang terjadi dalam sengketa pajak di Indonesia tentang cara penyimpangannya dan seperti apa bentuk penyimpangan yang terjadi.
2.  Spesifikasi Penelitian.
Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah spesifikasi penelitian inventarisasi hukum dan spesifikasi penelitian penemuan hukum in concreto. Penelitian ini menginventarisasi mengenai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pajak serta pengaturan mengenai penyelesaian sengketa pajak. Lalu dilakukan penelitian tentang penerapan peraturan perundang-undangan secara senyatanya (in concreto), dan memberikan solusi tentang permasalahan yang terjadi.
3.  Sumber Bahan Hukum.
Penelitian ini menggunakan sumber bahan hukum primer dan sekunder.
a    Bahan hukum primer adalah semua peraturan hukum yang dibentuk dan/atau dibuat secara resmi oleh suatu lembaga negara, dan/atau badan-badan pemerintahan, keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh komisi-komisi internasional, dan seluruh amar putusan badan yudicial. Dalam penelitian ini bahan hukum primer adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pajak seperti Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No.6 Tahun 1983 serta perubahannya, Undang-Undang No.14 Tahun 2002 serta peraturan-peraturan lain yang berkaitan tentang lembaga penyelesaian sengketa pajak.
b    Bahan hukum sekunder yaitu seluruh informasi tentang hukum yang berlaku atau yang pernah berlaku di suatu negeri. Bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks yang ditulis oleh para ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, dan kasus-kasus hukum. Di penelitian in bahan hukum sekunder adalah buku-buku ilmu hukum yang ditulis oleh ahli hukum, artikel-artikel di internet serta contoh-contoh kasus tentang penyimpangan pajak.
4.  Metode Pengumpulan Bahan Hukum.
Metode pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah dengan metode kepustakaan. Metode kepustakaan suatu cara pengumpulan data dengan melakukan penelusuran tehadap bahan pustaka (literatur, hasil penelitian). Mengumpulkan peraturan perundang-undangan yang dibutuhkan dalam penelitian ini, serta pemberitaan yang berkaitan dengan objek penelitian.
5.  Metode Pengolahan Bahan Hukum.
Bahan-bahan hukum dalam penelitian ini diolah dengan terlebih dahulu memilih bahan-bahan hukum kemudian dikutip atau dirangkum dari bahan-bahan hukum tentang hal-hal yang dianggap penting serta merupakan bagian dari objek penelitian ini.








6.  Metode Analisis.






















DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945 dan GBHN. 2008.Citra Media Wacana.
Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang No.6 Tahun 1983
Undang-Undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
Literatur
Atmosudirdjo, Prajudi. 1981. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Brotodihardjo, R.Santoso. 1998. Pengantar Ilmu hukum Pajak. Bandung: PT. Refika Aditama.
Djafar Saidi, Muhammad. 2008. Perlindungan Hukum Wajib pajak dalam penyelesaian Sengketa pajak. Jakarta: Rajawali Pers.
Johny Ibrahim. 2008. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif . Malang: Banyumedia Publishing.
Soemitro, Rochmat. 1998. Asas Dan Dasar Perpajakan 1. Bandung: PT. Refika Aditama.
Soemitro, Rochmat. 1998. Asas Dan Dasar perpajakan 2. Bandung: PT. Refika Aditama.
Syofyan, Syofrin. Asyhar Hidayat. 2004. Hukum Pajak dan Permasalahannya. Bandung: PT.Refika Aditama.


Internet



[1] Undang-Undang Dasar 1945 dan GBHN. 2008.Citra Media Wacana.
[2] Ibid.
[3] Soemitro, Rochmat. 1998. Asas Dan Dasar Perpajakan 1. Bandung: PT. Refika Aditama. Halm.8.
[5] Brotodihardjo, R.Santoso. 1998. Pengantar Ilmu hukum Pajak. Bandung: PT. Refika Aditama. Halm.2
[6] Atmosudirdjo, Prajudi. 1981. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia. Halm. 127
[7] Brotodihardjo, R.Santoso. Op Cit, Halm.2
[8] Ibid. Halm.4
[9] Soemitro, Rochmat. Op. Cit. Halm.62
[10] Ibid. Halm.101
[11] Djafar Saidi, Muhammad. 2008. Perlindungan Hukum Wajib pajak dalam penyelesaian Sengketa pajak. Jakarta: Rajawali Pers. Halm.32
[12] Soemitro, Rochmat. 1998. Asas Dan Dasar perpajakan 2. Bandung: PT. Refika Aditama. Halm.164.
[15]Soemitro, Rochmat.  Op.Cit. Halm. 90.
[16] Syofyan, Syofrin. Asyhar Hidayat. 2004. Hukum Pajak dan Permasalahannya. Bandung: PT.Refika Aditama. Halm. 91
[17] Johny Ibrahim. 2008. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif . Malang: Banyumedia Publishing. Halm. 306.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar